Kamis, 17 November 2011

TEORI DASAR FEMINISME

FEMINISME?
Feminisme pertama kali muncul pada abad ke 17/18 dan memiliki makna/ defiinisi yang berbeda-beda bergantung pada tingkatan kesadaran, pendidikan, persepsi serta tindakan terutama terkait dengan akar historis patriarki dan dominasi kaum laki-laki serta  perbedaan pemikiran mengenai tujuan akhir perjuangan perempuan demi terciptanya suatu masyarakat tanpa penghisapan dan penindasan. 
Meskipun demikian, dalam definisi yang  paling umum, feminisme  dapat diartikan sebagai sebuah teori kesetaraan antara perempuan dan laki-laki baik secara politik, ekonomi, dan sosial, dan merupakan aktivitas terorganisir atas nama hak-hak perempuan. Sederhananya feminisme juga diartikan sebagai sebuah teori dasar gerakan pembebasan perempuan dari ketertindasannya.


Ada banyak teori mengenai gerakan feminis, namun  berdasarkan sejarah perkembangannya, feminisme terbagi menjadi 3 gelombang yaitu :

l        Gelombang Pertama
Gerakan feminisme pertama berkembang di Prancis, Amerika Serikat dan Inggris sejak abad ke 17/ 18 (pada zaman pencerahan/ perlawanan terhadap tirani feodal di Eropa) sampai sekitar awal abad 19. Gelombang pertama ini secara umum memiliki tujuan untuk meningkatkan kesamaan derajat dan hak perempuan dengan laki-laki . Perhatian utama feminis gelombang pertama ini adalah pendidikan, pekerjaan, hukum perkawinan, dan nasib kaum perempuan lajang kelas menengah yang notabene berpendidikan. Gerakan feminis pada gelombang ini sama sekali tidak  menyinggung masalah-masalah perempuan kelas pekerja, karena sebagian besar feminis gelombang pertama hanya/ lebih  menanggapi ketidakadilan spesifik yang mereka alami sendiri. Mereka juga tidak selalu melihat diri mereka sebagai feminis. Beberapa tokoh  feminis dalam gelombang ini adalah Mary Wollstonecraft, Susan B. Anthony, Lucy Stone, Olympia Brown, dan Helen Pitts,dsb.  

Penacapaian utama gelombang ini dapat dilihat dari adanya reformasi dalam pendidikan (seperti kesempatan u/ mengakses pendidikan terbuka luas bagi kaum permpuan, juga reformasi sistem sekolah sekunder-perempuan, termasuk partisipasi dalam ujian nasional secara  formal , terbukanya akses  pekerjaan dan profesi terutama dalam bidang kesehatan, kesetaraan dan hak sakral atas harta kepemilikan bagi kaum perempuan baik yang sudah menikah ataupun lajang. Gelombang pertama dianggap berakhir ketika memasuki perang dunia pertama (awal abad 19) ketika mencapai kemenangan besarnya yaitu memenangkan undang-undang hak pilih. Namun ironisnya, ketika hasil-hasil perjuangan gerakan feminis tengah dinikmati oleh kaum perempuan sekitar pada tahun 1920an, feminsme itu sendiri justru malah dipandang kuno atau dianggap sebagai barang peninggalan perjuangan masa lalu.
l        Gelombang Kedua
Gelombang pertama feminisme memang gerakan yang monumental, namun, tanpa adanya gelombang kedua,maka tidak akan ada harapan bagi feminisme saat ini, karena setiap gelombang memiliki keterkaitan dan bergantung satu sama lain dengan  sejarah yang lainnya.
Gelombang kedua feminisme muncul setelah Perang Dunia II atau tepatnya sekitar tahun 1960 (masa kepopuleran), di mana banyak perempuan sudah memasuki dunia kerja, serta ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa. Istilah gelombang kedua ini diciptakan oleh Marsha Lear seiring mulai berkembangnya kembali aktifitas feminis di di Amerika, Inggris, dan Eropa.
Fokus utama dari gelombang kedua adalah kesetaraan gender secara total  (perempuan sebagai sebuah kelompok  memiliki hak-hak sosial, politik, hukum, dan ekonomi yang sama dengan  kaum laki-laki). Meskipun begitu, gerakan perempuan gelombang yang kedua ini lebih berlandaskan pada ideologi sosialisme kelas pekerja, sebagai contoh pada tahun 1968,   kaum buruh perempuan melakukan pemogokan umum terhadap perusahaan motor Ford untuk menuntut upah yang sama dengan laki-laki.
Pada tahun yang sama, sebuah kelompok pembebasan perempuan melakukan aksi untuk memprotes Kontes Kecantikan tahunan “Miss America”. Namun aksi ini tidak dinilai sebagai sebuah aksi persatuan yang kuat dikalangan feminis pada saat itu. Faktor penyebabnya lebih  karena perbedaan cara pandang yang dianut oleh aliran feminis yang cukup kuat pada saat itu seperti feminsme radikal, feminis, liberal dan feminisme sosialis.
Pada gelombang kedua ini, Slogan Personal is Political ('pribadi adalah politik')  memberikan kesimpulan bahwa  Feminisme Gelombang kedua tidak hanya berusaha untuk memperluas jangkauan kesempatan sosial yang terbuka bagi perempuan, tetapi juga, melakukan intervensi dalam bidang reproduksi, representasi seksualitas dan kultural, untuk mengubah   kehidupan pribadi dan domestik mereka.
Gelombang kedua ini dianggap berakhir ketika diratifikasinya  the Equal Rights Amendment (ERA) yang akhirnya  mengikutsertakan  kaum perempuan dalam hak suara parlemen.
Namun tentu saja, kemenangan besar ini  hanya dapat dinikmati oleh kaum perempuan  yang berasal dari negara-negara dunia pertama, sementara kaum perempuan dari negara-negara dunia ketiga masih tenggelam sebagai subjek yang tidak memiliki politik agensi baik sebelum dan sesudah perang dunia kedua.

l        Gelombang Ketiga
Gelombang ketiga dimulai pada awal tahun 1980an (sampai sekarang) sebagai kelanjutan  dan reaksi atas kegagalan  gelombang kedua. Sementara untuk istilahya sendiri,  pertama kali tercantum (tercipta) dalam sebuah esai yang ditulis oleh  Rebecca Walker pada tahun 1992, (seorang perempuan biseksual Afrika-Amerika berusia 23 tahun) untuk menggambarkan generasi baru feminis muda yang berusaha menciptakan gerakan perempuan yang lebih inklusif  dan komprehensif. Dia memandang bahwa gerakan perempuan gelombang kedua  telah gagal dalam mempersatukan kaum perempuan muda, non heteroseksual, dan kaum perempuan kulit berwarna. Mereka juga menganggap bahwa gerakan gelombang kedua cenderung memihak perempuan  kulit putih kelas menengah keatas ketimbang perempuan miskin kelas pekerja. Selain itu Banyak feminis gelombang kedua juga menganggap perempuan non heteroseksual sebagai sesuatu yang memalukan bagi gerakan perempuan.

ALIRAN-ALIRAN FEMINISME
Dari ketiga gelombang gerakan feminis di atas dapat disimpulkan bahwa gerakan perempuan secara perlahan tumbuh menjadi sesuatu kekuatan politik yang besar, yang  menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika Utara. Seperti yang dipaparkan di atas bahwa ada arus-arus  utama yang memiliki cara pandang berbeda berkembang pada saat gerakan itu tumbuh (1970-1979/ gelombang kedua) diantaranya, Feminis Liberal,  Feminis Sosialis, dan Feminis Radikal.

FEMINISME LIBERAL
Gerakan ini muncul pada awal abad 18, berbarengan dengan lahirnya zaman pencerahan dan mencapai tingkat kepopulerannya pada tahun 1950/1960an ketika banyak gerakan menuntut hak-hak sipil. Tuntutannya adalah kebebasan dan kesamaan terhadap akses pendidikan, pembaruan hukum yang bersifat diskriminatif. Sedangkan dasar pemikirannya yaitu pandangan rasionalis serta pemisahan ruang privat dan publik. Kaum feminis liberal menuntut kesempatan yang sama bagi setiap individu, termasuk perempuan karena mereka meyakini bahwa perempuan merupakan mahluk rasional yang memiliki kapasitas mental dan kemampuan   yang sama dengan laki-laki sehingga harus diberikan kesempatan yang sama pula. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan menurut feminis liberal ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Sehingga solusi yang ditawarkannya pun tiada lain adalah Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Perempuan itu sendiri yang harus membekali diri dengan bekal pendidikan dan pendapatan.

Bagi kaum feminis liberal, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang  memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara/ hanya sebatas warga negara dan bukannya sebagai pembuat kebijakan. Inilah kemudian dipandang sebagai bentuk ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Sehingga hal ini pun medorong kaum Feminist Liberal untuk memperjuangkan  “kesetaraan” perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara atau yang paling sederhananya mereka sering melakukan lobi-lobi terhadap pemerintah demi reformasi pro perempuan dan berusaha mempengaruhi para pengambil kebijakan.

Namun pada kenyataannya, banyak kepemimpinan dalam gerakan ini akhirnya disuap dengan kedudukan-kedudukan dalam birokrasi pemerintah dan akademia (banyak diantaranya menempati sudut-sudut feminis) yang sering terikat dengan pemerintah negara-negara maju. Banyak aktivis feminis yang militan pada awal-awal gerakan menjadi terjebak dalam  kerja kesejahteraan yang dibiayai oleh pemerintah dan sering secara politik berkompromi dengan mereka karena ketakutan dananya ditarik (contoh gaya kerja LSM).

Feminis liberal memang mempunyai akses yang jauh lebih besar terhadap uang, media dan  pembuat keputusan kebijakan publik daripada kelas pekerja perempuan atau orang kiri.  Tentu  tidak disangkal pula bahwa segelintir perempuan akan berhasil menerapkan Feminisme Liberal ini untuk membebaskan dirinya. Namun, bagaimana dengan mayoritas kaum perempuan yang miskin dan dimiskinkan? Mereka yang menganut Feminisme Liberal akan mengatakan bahwa ini adalah "salah mereka sendiri tidak mau beremansipasi". Pandangan ini jelas keberpihakannya pada kelas penguasa.

FEMINISME RADIKAL
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.
Basis teori ini ialah bahwa sistem patriarkal tersebut datang dari perbedaan biologis antar jenis kelamin, khususnya peran perempuan dalam reproduksi. Intinya adalah penindasan secara kelamin (sex),di mana perempuan ditindas oleh lelaki. Tetapi berbeda dengan Feminisme Liberal yang menuntut kesetaraan gender untuk kesamaan peran secara moderat (artinya lelaki adalah musuh yang bisa disadarkan) - aliran ini menganggap lelaki sebagai "musuh tak terdamaikan". Mereka mengatakan: "karena lelaki tak mengalami penindasan seksual, maka laki-laki tak mengerti akan perjuangan pembebasan perempuan" . Jadi apabila kita memakai teori ini, jelas bahwa kita akan beranggapan bahwa sejak manusia muncul di dunia ini laki-laki telah menindas perempuan.
Feminisme radikal yang mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik menjadikan jargon “The personal is political” sebagai sesuatu yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, atau masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Kontribusi gerakan feminis liberal dalam konteks Indonesia adalah diberlakukannya UU KDRT.
Namun kegagalan paling besar dari Feminisme Radikal adalah kegagalannya menerangkan mengapa banyak pemimpin perempuan justru menindas kaumnya sendiri. Margareth Tatcher (perdana menteri perempuan pertama Inggris), misalnya, justru membalikkan peraturan-peraturan yang dibuat pendahulunya (laki-laki), yang menerapkan peraturan-peraturan yang banyak memberi kesempatan perempuan dari kelas-kelas bawah untuk mendapatkan pendidikan, sementara dia sendiri justru memangkas subsidi layanan publik/ tunjangan sosial yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup kaum perempuan.
LANTAS BAGAIMANA DENGAN FEMINISME SOSIALIS? APA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DENGAN FEMINISME MARXIS??

Dilihat dari esensinya, feminisme sosialis sering diidentikan dengan feminis  marxis. Meskipun demikian, kita juga perlu memahami atau mengetahui  dimana letak persamaan dan perbedaannya.

Feminisme Marxis
Kaum Marxis berargumen bahwa penindasan dan eksploitasi ada secara sistematis dan kita bisa menentukan mekanismenya, bagaimana serta mengapa hal tersebut terjadi, agar supaya kita dapat mengubahnya. Perubahan tidak lah jatuh dari langit, akan tetapi hanya dapat terjadi jika semua kaum tertindas memahami alam penindasan mereka dan bergabung dengan yang lainnya untuk berjuang  menghapusnya. Ini lah mengapa, menjadi signifikan untuk memerangi mitos bahwa perempuan adalah makluk yang selalu tersubordinasi.

Berbeda dengan feminis liberal yang memandang akar ketertindasan perempuan dikarenakan  kesalahan perempuan itu sendiri dan feminis radikal yang memandang bahwa akar ketertindasan perempuan lebih disebabkan oleh laki-laki, aliran feminisme Marxis  memandang ketertindasan perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.

Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property).

Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Situasi ini muncul setelah ditemukannya corak produksi pertanian yang telah memperkenalkan sistem nilai lebih (keuntungan). Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Sehingga kaum marxis mengangap jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dapat dihapuskan.

Feminisme Sosialis
Sama halnya dengan feminisme Marxis, feminisme sosialis juga memandang bahwa adanya kepemilikan pribadi dan munculnya kelas-kelaslah -yang dimulai dari ditemukannya pertanian, merupakan asal mula penindasan terhadap perempuan. Lalu perempuan dipinggirkan perannya dalam bentuk keluarga yang terus dilanggengkan sejak munculnya masa feodalisme hingga kapitalisme.
Feminisme sosialis yang merupakan sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan, Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme" berjuang untuk menghapuskan sistem kepemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Seperti kaum Marxist, kaum feminis sosialis memandang kapitalisme sebagai faktor utama dalam penindasan terhadap perempuan, maupun dalam penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas lainnya. Namun perbedaannya adalah kaum feminis sosialis meyakini bahwa kapitalisme hanyalah salah satu dari banyak faktor yang saling kait-mengait dan berperan menindas perempuan. Bagi  feminis sosialis,  salah satu -faktor penting  lainnya selain kapitalisme adalah  dominasi laki-laki (patriarki).

Sebagai contoh kecil, karena pekerjaan perempuan (di dalam dan di luar rumah) tidak dinilai setinggi pekerjaan setara yang dilakukan laki-laki, perempuan dipaksa tetap bergantung pada laki-laki. Misalnya, walaupun seorang perempuan yang menjadi seorang ibu sekaligus istri bekerja selama 20 hari di dalam rumahnya, ia tidak diberi imbalan uang dan oleh karena itu tidak mampu memperoleh status yang setara dengan suaminya, yang bekerja 9 jam sehari dan dibayar.

Perbedaan yang lainnya, feminis sosialis  meyakini bahwa rumah bukan hanya tempat untuk konsumsi, tapi juga produksi. Pekerjaan perempuan di dalam rumah, yang menjaga
dan membesarkan anak-anak, dan juga membantu laki-laki dengan memasak,
mencuci, dan bentuk-bentuk pekerjaan rumah tangga lainnya yang memungkinkan laki-laki bekerja di luar rumah, adalah semuanya bentuk-bentuk produksi karena mereka berkontribusi bagi masyarakat luas. Produksi, menurut kaum feminis sosialis, janganlah diukur dalam uang, melainkan nilai sosialnya.
Salah satu perdebatan terkait kritik feminisme sosialis terhadap Marxis dapat kita ambil contoh dari perdebatan antara Lenin dan Clara Zetkin dimana bagi Lenin apa yang dikerjakan Zetkin-yaitu mendiskusikan isu-isu perempuan-dianggap tidak memberikan kontribusi dalam perjuangan revolusioner. Menurut Lenin, yang seharusnya dilakukan oleh Zetkin bukan membuang-buang waktu membicarakan soal-soal perempuan tetapi membangkitkan gairah dan kesadaran perjuangan revolusioner menentang kapitalisme pada perempuan.
Sebaliknya, bagi Zetkin, persoalannya jelas bahwa terdapat kebutuhan bagi perempuan untuk memahami dan menghubungkan penindasan yang terjadi di bidang "privat" maupun "publik". Ia mengerti benar mengapa perempuan tertindas dan hal ini tampaknya sama sekali tidak dipahami oleh Lenin. Marxisme menjelaskan mengapa kapitalisme mengakibatkan adanya pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki, pemi-sahan antara perempuan di dunia domestik dan laki-laki di dunia publik. Tetapi, marxisme tidak menjelaskan mengapa sebelum ada kapitalisme pemisahan tersebut sudah terjadi. Bagi Zetkin, baik kategori Marx maupun kapital sama-sama buta terhadap persoalan perempuan.
Meskipun demikian, dalam pembangunan strategi gerakannya, feminis sosialis tidak jauh berbeda dengan feminis Marxis yang dinilai  lebih progresif dibandingkan aliran feminis lainnya, yaitu  feminis sosialis  lebih menekankan pada pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas tertindas lainnya yaitu dengan gerakan-gerakan anti imperialis, organisasi-organisasi buruh, serta partai-partai politik kiri. Untuk konteks sekarang, kita ambil contoh perjuangan kaum perempuan di Venezuela melalui revolusi bolivariannya dimana mereka bersatu membangun kekuatan dengan sektor-sektor rakyat tertindas lainnya untuk melawan inperialisme neoliberalisme negara-negara maju seperti Amerika.    
PERKEMBANGAN
FEMINISME DI INDONESIA
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa gerakan perempuan tidak hanya menyebar di negara-negara barat seperti  Amerika dan Eropa tetapi juga banyak menginspirasi perjuangan kaum perempuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sekarang hagaimana dengan  perkembangan feminisme di Indonesia? Apakah ada persamaan dengan Barat? Dan apakah juga di sini melalui tahapan seperti di Barat?

Masa Kolonialisme

Boleh disebut gerakan perempuan di lndonesia masih sangat muda dan bangkit bersama‑sama dengan bangkitnya semangat nasionalisme di Indonesia pada permulaan abad 20 yang dipelopori oleh Kartini. Kartini, dikenal sebagai  pelopor emansipasi perempuan di kalangan feodal bahkan dalam konteks peran perempuan dalam kan­cah politik untuk mengusir Kolonialis Belanda, sosok Kartini boleh disebut sebagai salah seorang tokoh nasionalis di Indonesia. Namun,  kalau kita lihat apa yang dianjurkan Kartini terkait persamaan hak, kedudukan dan kesempatan seperti di Barat pada akhir abad 18. Di sini tampak jelas akan pengaruh Stella seorang tokoh perempuan sosial demokrat Belanda.

Tentu selain Kartini, kita juga masih memiliki Cut Nya' Dien yang sampai mati melawan Belanda dan menjadi takoh yang memberikan inspirasi adanya Gerakan Aceh Merdeka. Dan masih banyak tokoh lainnya yang terus menerus mengabdi melawan kolonial Belanda dan Facisme Je­pang seperti Siti Larang.
Pada Tahun 1912,  munculnya sebuah organisasi perempuan pertama yang cukup kuat yaitu Putri Merdeka, menunjukan suatu langkah maju dari kesadaran kaum perempuan Indonesia akan pentingnya membangun kekuatan. Terlebih Putri Merdeka pada waktu itu mempunyai afiliasi dengan Boedi Oetomo, organisasi nasionalis pertama yang berdiri tahun 1908. Sehingga Afiliasi ini memperlihatkan bagaimana pada saat itu organisasi perempuan sangat dekat dengan nasionalisme.
Pada masa ini,Organisasi perempuan kelas menengah lainnya yang mempunyai nuansa agama adalah Muhammadiyah.
Organisasi perempuan mulai menjadi politis baru terlihat pada tahun 1920-an, ketika organisasi-organisasi politik yang besar seperti Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai divisi perempuan. Organisasi-organisasi perempuan ini mempunyai anggota yang bervariasi dalam latar belakang sosial dan politiknya. Cakupannya meliputi tingkat kelas menengah-bawah yang meluas. Isu-isu yang dilontarkan adalah seputar partisipasi perempuan dalam politik dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan (decision-making).
Feminisme Indonesia Tahun 1950-60an
Tahun 1950-an merupakan tahun kemunculan  beberapa organisasi perempuan yang mana pada saat badan organisasi perempuan yang diakui bukan lagi hanya satu. Kongres perempuan yang sempat dilaksaanakan dan dibentuk pada tahun 1946 oleh beberapa organisasi perempuan pada waktu itu, yaitu Kongres Wanita Indonesia (Kowani) untuk menunjang perjuangan kemerdekaan, bubar mengingat Kongres Wanita Indonesia hanyalah salah satu upaya untuk memfasilitasi kontak di antara organisasi perempuan, namun tidak memiliki otoritas melakukan keputusan sendiri.
Pada tanggal 17 Desember 1953, sejumlah organisasi perempuan melancarkan demonstrasi yang menentang Keputusan Pemerintah  No.19 Tahun 1952 yang secara gamblang mensyahkan poligami bagi para pegawai. Demonstrasi ini merupakan satu-satunya yang terjadi sesudah Indonesia merdeka dan dikikuti oleh kalangan luas gerakan perempuan dan yang memperjuangkan kepentingan gender perempuan.
Namun, organisasi perempuan yang dinilai cukup kuat diantara organisasi perempuan yang lainnya pada saat itu adalah Gerwis, sebuah organisasi yang independen bertujuan memajukan pendidikan perempuan dan menyediakan fasilitas penitipan anak.
Tahun 1954, organisasi Gerwis berubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan kemudian menjadi organisasi yang sangat kuat karena memiliki paling tidak satu juta anggota. Pada 1960-an, setelah perjuangan untuk reform perkawinan mengalami kegagalan di parlemen, dan dengan semakin kuatnya hegemoni demokrasi Terpimpin, “feminisme” Gerwani pun didominasi ideology Manipol dan Nasakom nya Soekarno. Hal ini kemudian membuat Solidaritas Gerwani tidak lagi pada semua perempuan. Gerwani mengarahkan haluannya pada “integrasi total” dengan kelas pekerja dan kaum tani dan memandang perempuan kaya sebagai “musuh” bagi usaha organisasi memperjuangkan kemerdekaan nasional sepenuhnya.
Oleh karena itu, walaupun tidak ada hubungan yang resmi antara Gerwani dan PKI, namun seringkali Gerwani dipandang sebagai bagian dari divisi perempuan PKI. Hubungan yang erat antara Gerwani dan pergerakan buruh (SOBSI) serta PKI, membuat hubungan Gerwani dengan Soekarno menjadi sangat dekat. Namun, Peristiwa 30 September 1965 menjadi sejarah kelam bagi gerakan perempuan progresif pada saat itu khususya Gerwani. Kedekatannya dengan PKI membuat organisasi tersebut dibantai habis-habisan karena dituduh terlibat dalam pembunuhan 7 dewan jenderal pada tanggal 30 September 1965.

Tahun 1970-an
Sejarah kemudian menyimpulkan bahwa gerakan perempuan pada periode ini (pasca Gerwani dibantai oleh rezim Soeharo) mengalami titik terlemah bahkan tidak terdengar sama sekali gaung nya semenjak berdirinya Dharma Wanita (1974) dan Dharma Pertiwi (1974) diresmikan sebagai organisasi isteri para pegawai negeri dan isteri tentara yang merupakan organisasi payung 19 organisasi isteri pegawai negeri dan 4 organisasi isteri tentara.
Disamping itu, lemahnya gerakan perempuan pada masa ini terkait ketatnya kontrol pemerintah Soeharto dalam mengontrol seluruh aktivitas kaum perempuan, bahkan rejim juga membangun PKK, yang seluruh aktivitasnya hanya berkutat pada kegiatan seremonial belaka tanpa pernah melakukan sebuah penyadaran terhadap kaum perempuan.

Sehingga pada periode ini, organisasi perempuan bisa dikatakan memasuki periode “tidak ada perlawanan” terhadap diskriminasi dan eksploitasi yang dialami kaum perempuan di Indonesia. Luasnya jaringan PKK, Dharma Wanita serta Dharma Pertiwi yang didukung oleh rejim, bisa dikatakan berhasil mematikan potensi untuk bangkitnya kembali gerakan perempuan yang masif.

Tahun 1980an
Diterapkannya NKK/BKK dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia, memang menyebabkan menjamurnya berbagai Kelompok Studi dan Kelompok Diskusi di kalangan mahasiswi. Kelompok-kelompok ini mendiskusikan berbagai persoalan yang menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan. Diskusi ini juga menimbulkan semangat solidaritas terhadap persoalan ekonomi-politik yang ada. Bahkan kemudian berkembang dalam bentuk aksi-aksi solidaritas bersama. Akan tetapi, dengan kondisi yang sangat represif, pada perkembangannya Kelompok-kelompok Diskusi dan studi yang ada malah bergabung dan mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Sehingga dengan demikian, periode ini bisa dikatakan sebagai periode dimana gerakan perempuan cenderung mengikuti gerakan feminisme liberal. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya Gerakan Kesadaran Perempuan (GKP), sebuah organisasi perempuan yang terbentuk pada tahun 1988. Mereka berdemonstrasi menuntut keringa­nan hukuman karena membunuh suaminya gera­kan ini seingga kemudian memberikan inspirasi, kepada kelompok perempuan liberal lainnya untuk melakukan aksi‑aksi yang serupa. Kita lihat pembelaan yang sangat simpatik dalam membela Sulas­tri, pembantu perempuan yang ditindas dan pembelaan mereka terhadap Istri supir mik­rolet yang diperkosa oleh 3 polisi di Pasar Minggu. Hasilnya 3 poli­si dipecat dan diskors. Kelompok in' terkenal dengan Kelompok Ke­bangkitan Perempuan Indonesia (KKPI).
Kelompok lainnya adalah Yayasan Kalyanamitra. Kelompok ini sangat peduli terhadap persoa­lan‑persoalan diskrimi­nasi perempuan dalam masyarakat dan dis­kriminasi perempuan didalam Film dan Novel. Peneli­tian mereka bisa dilihat di Dongbret (berkala bulanan, yang padaprakteknya menjadi tahunan) tentang Pelacuran dan Buruh Perempuan Gendong.
Banyak yang memnadang bahwa kelompok ini memang sengaja membatasi ruang gerak hanya pada bidang penelitian dan pendokumentasian. Kesulitan mereka yang paling mendasar, nampaknya karena kesulitan merumuskan visi mereka sebagai organisasi gerakan perempuan, dan juga karena terlalu terilhami oleh gerakan perempuan liberal di Barat. Sehingga pada tingkat pengidentifikasian masalah dan perumusan agenda kerja, mereka dianggap benar-benar tidak mampu merumuskan apa-apa. Karena tidak berdasarkan pada konteks dan dialektika sejarah penindasan bangsa indonesia.

Tahun 1990an
Pada tahun ini adalah mulai bangkitnya kembali gerakan kaum perempuan. Gerakan ini  tidak terlepas dari bangkitnya gerakan buruh di sektor industri, karena di Indonesia lebih 60% dari jumlah buruh adalah buruh perempuan. Salah satu bukti kemampuan kaum perempuan dalam memimpin berbagai perjuangan kaum buruh adalah Marsinah, yang kemudian jadi korban kebiadaban dari pengusaha yang didukung sepenuhnya oleh kekuatan bersenjata.
Walaupun demikian perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan diniali belum mencapai suatu fase pada perjuangan dimana kaum perempuan mampu membebaskan dirinya dari sebuah sistem yang menindas, tetapi lebih pada persoalan-persoalan ekonomis dan itupun dilakukan secara terpisah-pisah.

Tahun 1998-Sekarang
Tahun ini memang merupakan tahun yang sangat bersejarah bagi rakyat Indonesia. Tumbangnya rezim Soeharto memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi berjalannya proses demokrasi yang semula dibungkam habis-habisan oleh rezim ini meskipun pada kenyataannya demokrasi yang sesungguhnya dicita-citakan oleh rakyat masih jauh panggang dari api.
Terkait persoalan perempuan, memang pada tahun ini terutama pada saat detik-detik  rezim Soeharto tumbang yaitu pada pertengahan bulan Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia, di tengah penjarahan, pembakaran serta pembunuhan, perempuan etnik Tionghoa dijadikan sasaran perkosaan dalam penyerangan massal pada komunitas Tionghoa secara umum.
Reaksi yang timbul terhadap tragedi itu cukup massif. Gerakan perempuan kala itu (untuk sementara) menjadi terkonsolidasi dan tersolidkan, karena melihat ada “musuh bersama” yang sungguh menindas kaum perempuan (Tionghoa). Kekerasan terhadap perempuan, khususnya perempuan Tionghoa, menjadi satu isu nasional, karena cenderung dilakukan secara sistematis, dimana negara turut mem-back up kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa selama ini. Inti dari tragedi ini adalah politik rasisme.
Hal ini pula yang membuat beberapa aktifis yang peduli terhadap perempuan menuntut BJ. Habibie  agar segera mendirikan sebuah komisi independen di tingkat nasional yang sekarang kita kenal sebagai KOMNAS Perempuan. Namun seiring perkembangannya, tak sedikit yang menilai bahwa KOMNAS Perempuan ini tidak sekadar sebagai sebuah LSM belaka. Hal ini tidak mengherankan, karena sebelumnya memang  LSM-LSM yang notabene didanai oleh asing ini telah menjamur, dan semakin berkembang biak  hingga saat ini.
Memang benar, pada saat ini selain LSM perempuan, tidak sedikit pula organisasi-organisasi perempuan non LSM yang banyak berdiri. Namun dilihat dari segi cara kerja dan landasan persfektif berpikirnya, mereka tidak jauh berbeda dari gaya / perspektif LSM yang lebih cenderung menganut faham  feminisme liberal atau radikal. Kita juga tidak menyangkal bahwa memang ada  organisasi perempuan bahkan banyak perempuan yang masuk kedalam serikat buruh  dan organisasi non perempuan lainnya yang  mengklaim dirinya menganut faham sosialisme. Namun apabila harus disimpulkan, dari sekian banyak organisasi perempuan/ gerakan perempuan yang ada saat ini, pengaruh liberal lah yang masih mendominasi gerakan perempuan Indonesia pada hari ini.

RELEVANSI DAN PERBEDAAN FEMINISME INDONESIA DENGAN FEMINISME BARAT

Meskipun gerakan feminisme secara historis merupakan  ide  Barat, tetapi asal-usul Barat tersebut lantas tidak bisa dianggap sepenuhnya tidak relevan mengingat sesuatu gagasan tidak dapat dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun geografi. Sehingga tidak dapat disangkal bahwa gagasan mereka  setidaknya mempengaruhi pula gerakan perempuan di Indonesia.

Semisal pemikiran Kartini yang memperjuangkan kesetaraan/ emansipasi dengan kaum laki-laki  sangat terinspirasi dengan pemikiran Stella, seorang feminis Belanda.
Lalu kemudian, Gerwani yang memiliki kedekatan dengan PKI pada saat itu dilihat dari pola gerakannya  cenderung     mengikuti faham feminis sosialis. Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti yang sempat diulas diatas pemikiran Gerwani  memang sangat didominasi oleh ideology Manipol dan Nasakom nya Soekarno yang notabene Soekarno  sendiri sangat terinspirasi dengan pemikiran seorang tokoh feminis Sosialis dan merupakan ktivis Partai Demokrat Sosial Independen dari Jerman (USPD)  yaitu, Clara Zetkin (meskipun dalam propaganda dan pidato-pidatonya di hadapan kaum perempuan, Soekarno cenderung Marxis karena  menegasikan  kritik Clara Zetkin terhadap Lenin).

Sementara paska tumbangnya Soekarno dan kemudian Soeharto berkuasa dimana gerakan perempuan nyaris tidak terdengar gaungnya,  mayoritas gerakan perempuan pada waktu itu dianggap lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran feminisme liberal Barat, terbukti dengan menjamurnya LSM-LSM perempuan yang banyak didanai asing serta  naiknya Megawati sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia ternyata tidak menjamin kaum perempuan di Indonesia terutama perempuan miskin mampu keluar dari ketertindasannya.

Lantas bagaimana dengan perbedaannya? Meskipun pengaruh gagasan-gagasan yang disumbangkan oleh feminisme Barat bisa dinilai sangat kuat dalam sejarah gerakan feminis di Indonesia. Namun perlu diketahui bahwa perbedaan yang sangat mendasar bagi  perjuangan gerakan feminis keduanya adalah terletak pada perbedaan kondisi objektif negara dimana gerakan feminis di Barat tidak mengalami tahapan seperti apa yang dilalui oleh gerakan feminis di Indonesia yang notabene  selain menuntut kesetaraan, gerakan feminis Indonesia juga sangat aktif terlibat dalam proses merebut kemerdekaannya dari negara-negara penjajah.

FEMINISME APA YANG TEPAT BAGI KAUM PEREMPUAN DI INDONESIA AGAR  MAMPU KELUAR DARI KETERTINDASANNYA?

Agar kita dapat menentukan dan meyakini feminis apa yang tepat dan dianggap dapat memberikan solusi bagi pembebasan perempuan pada hari ini, maka kita harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu akar ketertindasan perempuan itu sendiri. Pertanyaanya adalah dengan apa kita harus melihat persoalan ketertindasan perempuan ini?
Tentunya dalam melihat masalah ketertindasan perempuan, kita harus melihatnya dengan basis analisa kelas*. Apa itu analisa kelas? Secara singkat analisa kelas ialah teori yang mendekatkan akar permasalahan akibat munculnya kelas-kelas di dalam masyarakat. Mengapa penindasan pada bagian terbesar umat manusia terjadi, karena semua berpangkal pada dua kelas yang saling berhadap-hadapan secara tak terdamaikan, yakni kelas pemilik modal dengan kelas tak bermodal (proletar). Apa hubungannya dengan perempuan sebagai suatu golongan sosial? Kelas Kapitalis berkepentingan untuk melakukan penindasan perempuan karena perempuan dipandang sebagai "properti" lelaki, sekaligus tenaga kerja yang murah.

Awal Ketertindasan Perempuan
Pada masa sebelum munculnya kepemilikan pribadi dan kelas-kelas, kedudukan sosial perempuan dan lelaki adalah setara. Pada masa yang disebut sebagai masa Komunal Primitif, dengan corak masyarakat yang disebut masyarakat pemburu dan pengumpul (hunter-gatherer societies), produksi sosial ditata secara komunal dan hasilnya dibagi rata. Inilah masa bentuk pertanian belum ditemukan. Memang ada pembagian tugas yang berdasarkan umur atau jenis kelamin, tetapi semua orang melebur dalam satu kelompok sosial. Tiada basis material untuk adanya hubungan sosial yang eksploitatif.
Keadaan mulai berubah, ketika cara pertanian mulai ditemukan. Kaum perempuan lah yang sebenarnya mulai menemukan cikal bakal pertanian: mereka yang bertugas mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian melihat bahwa benih dari tanaman yang mati dapat menumbuhkan tanaman lain yang hidup. Cara atau proses ini bisa dilakukan secara sengaja. Ditemukannya teknik pertanian -yang diikuti dengan penemuan cara peternakan- segera mengubah sistem sosial dalam masyarakat. Mulailah muncul keinginan untuk memperoleh dan menyimpan hasil yang sebesar-besarnya. Keinginan itu pada mulanya baru berwujud dalam bentuk kelompok sehingga terbentuklah suku-suku, klan atau marga; tetapi lama kelamaan keinginan tersebut mewujud dalam bentuk individualistik.
Pada masa munculnya suku-suku, manusia menemukan cara untuk memperbesar hasil produksi pangan dengan cara ekstensifikasi, yakni memperbesar jumlah orang yang bekerja di bidang pertanian. Semakin banyak orang yang bekerja, maka akan semakin banyaklah lahan yang bisa dikerjakan, otomatis, semakin besarlah pula hasil yang didapat. Cara apa yang bisa dilakukan untuk memperoleh tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya? Caranya ialah, perempuan sebagai kunci reproduksi, digeser perannya sebagai "pemroduksi" anak. Inilah masa sistem sosial yang memaksa perempuan harus tinggal di rumah untuk membesarkan anak.
Lama-kelamaan, sejalan dengan semakin besar hasil yang diproduksi, pola kepemilikan secara suku bergeser menjadi kepemilikan pribadi. Peran perempuan semakin tergeser, ia sekarang menjadi "properti" milik suami dan dijerembabkan ke dalam sistem yang bernama keluarga. Sistem keluarga inilah yang semakin meminggirkan peran perempuan, di mana peran perempuan hanya sebagai penghasil keturunan, pemelihara anak dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Mulailah suatu periode di mana ketertindasan perempuan dilembagakan dalam sistem keluarga. Bahkan kata family (keluarga) asal mulanya dari bahasa Latin yakni famulus yang berarti budak dan familia, yang berarti jumlah keseluruhan budak yang dimiliki oleh seorang lelaki.
Pada epos masyarakat berkelas, penguasa menciptakan institusi-institusi dan alat-alat ideologi, seperti negara, militer, hukum bahkan sistem kepercayaan. Hal ini tentunya menjadi sebab logis mengapa kelas pemodal memerlukan penindasan terhadap perempuan baik dalam bentuk diskriminasi atau pemenjaraan peran, karena perempuan dipandang sebagai bagian dari komoditi, juga adalah golongan pekerja yang bisa dieksploitasi secara murah.
FEMINIS SOSIALIS SEBAGAI JAWABAN
Di atas, secara singkat,telah dipaparkan secara historis asal muasal munculnya ketertindasan perempuan. Adanya kepemilikan pribadi dan munculnya kelas-kelaslah -yang dimulai dari ditemukannya pertanian, lalu peternakan adalah asal mulanya penindasan terhadap perempuan. Lalu perempuan dipinggirkan perannya dalam bentuk keluarga. Ini terus dilanggengkan dari munculnya masa feodalisme hingga kapitalisme. Ideologi patriarkal -yakni pelestarian secara sosial dominasi lelaki dan sebaliknya peminggiran peran dan kedudukan perempuan- terus dihidupkan, karena memang menguntungkan. Maka dari itu, terkait  asal-usul penindasan perempuan di atas, cara pandang feminis sosialis lah yang dianggap paling tepat  untuk dijadikan sebagai sebuah pijakan bagi seluruh perempuan di Indonesia dalam melawan penindasan terhadap kaum perempuan yang dewasa ini lebih disebabkan oleh  kebijakan kapitalis Neoliberal yang semakin gencar-gencarnya mengekploitasi tidak hanya kaum perempuan tetapi juga sektor rakyat tertindas yang lainnya.
Kenapa harus feminis Sosialis?
Feminisme Sosialis mencoba membongkar akar ketertindasan perempuan dan menawarkan ideologi alternatif yakni: Sosialis. Penindasan terhadap perempuan tidak akan berakhir selama masih terus diterapkannya sistem kapitalisme. Inilah yang dikatakan sebagai peminggiran peran perempuan sebagai bagian dari produk sosial, politik dan ekonomi yang berhubungan dengan keberadaan kapitalisme sebagai suatu sistem. Inilah penindasan yang berakar pada keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat. Pada awalnya, Friedrich Engels yang menjelaskan dalam buku klasik The Origin of the Family, Private Property and the State (1884). Keterpurukan perempuan bukan karena perkembangan teknologi, bukan karena perempuan lemah secara mental dan tenaga (sehingga harus dilindungi oleh lelaki), bukan karena sebab-sebab yang lain; tetapi karena munculnya kelas.
Masalah penindasan perempuan tidak beridiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dalam sistem yang saling berkaitan Perjuangan pembebasan perempuan hanya berhasil ketika sistem kepemilikan pribadi yang memerlukan secara logis penindasan terhadap perempuan, berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya transformasi sosial masyarakat yang menghancurkan kelas-kelas, dan penguasaan alat-alat produksi pada segelintir orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial. Inilah masyarakat sosialis: suatu masyarakat dimana ideologi patriarkal secara logis tak diperlukan, di mana perbudakan perempuan di dalam keluarga harus dihapuskan, perempuan terlibat dalam proses produksi secara bersama-sama dan memecahkan setiap permasalahan masyarakat secara bersama-sama pula.
Pada prakteknya, perjuangan pembebasan perempuan tak bisa dipisahkan dari perjuangan Sosialisme; karena secara sistematis Kapitalisme dengan alat-alat ideologi dan alat-alat kekerasannya, melakukan penindasan pada semua sektor masyarakat. Kapitalisme secara frontal memerlukan penindasan terhadap pekerja (sehingga seorang buruh perempuan, harus mengalami dua lapis penindasan : baik sebagai buruh, maupun sebagai perempuan) , memerlukan perusakan lingkungan hidup, memerlukan rasisme, memerlukan seni dan hiburan yang membodohkan masyarakat dan memerlukan praktek Neoliberalisme dan Imperialisme sebagai jalan keluar dari krisis yang terus melilitnya. Inilah contoh-contoh yang menjelaskan mengapa perjuangan perempuan harus dilakukan dengan persatuan yang kokoh dengan berbagai sektor masyarakat lain, utamanya dengan kelas pekerja. Perjuangan perempuan tak bisa terpisah secara sektoral dan eksklusif, karena akan melemahkan persatuan kokoh dari masyarakat yang tertindas.
Perjuangan perempuan memang terus mengagendakan masalah-masalah penindasan yang dihadapi perempuan terkini yang selintas terdengar sektoral, seperti masalah gender, kekerasan dan diskriminasi seks, tetapi semua itu dilakukan dengan cara membongkar akar ketertindasan perempuan yakni sistem kapitalisme. Perjuangan perempuan juga harus terlibat aktif dalam gerakan-gerakan yang menjadi permasalahan umat manusia secara umum misal: lingkungan hidup, diskriminasi ras atau Neoliberal.
Secara ringkas bisa dikatakan: perjuangan Sosialisme tak bisa dipisahkan dengan perjuangan pembebasan perempuan dan dengan keteguhan di dalam persatuan masyarakat yang terorganisirlah pembebasan perempuan sejati akan tercapai, yakni ketika masyarakat Sosialis telah tercipta.****
Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan!
Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme

*Ditulis dan disusun oleh Rismayanti Priyanita

0 komentar:

Posting Komentar