Kamis, 17 November 2011

GENDER, SEKS DAN PEMINGGIRAN PEREMPUAN

A. Gender dan Seks
Istilah gender muncul sekitar tahun 1977 ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Jender (gender discourse). Gender berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau tipe. Dalam bahasa Inggris, gender mempunyai arti jenis kelamin. Sementara itu, seks juga mempunyai arti yang sama yaitu jenis kelamin. Meskipun keduanya mempunyai arti yang sama, gender tidak bisa disamakan dengan seks atau intinya gender tidak sama dengan seks. Gender adalah perbedaan peran, sifat, tugas, fungsi, dan tanggung jawab laki laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat, dan dikonstruksikan oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sementara seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan.
B. Perbedaan Gender dan Seks
GENDER
SEKS
1.          Gender berkaitan dengan hubungan sosial.
2.          Gender merupakan konsep analitis yang ditentukan secara sosial dan bukan berdasarkan jenis kelamin individu.
3.          Gender merupakan bentukan sosial.
4.          Gender dapat berubah setiap waktu dan kita dapat merubah hubungan gender itu sendiri.
  1. Gender bukan kodrat
1.      Seks bekaitan dengan perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki.
2.      Jenis kelamin tiap individu ditentukan oleh faktor biologisnya masing-masing. ( Kita telah memiliki jenis kelamin sejak dilahirkan dan biasanya tidak bisa dirubah, kecuali jika kita punya banyak uang)
3.      Seks = kodrat

C. Contoh Karakteristik Gender dan Seks 
                  Karakteristik Seks :
·        Laki-laki mempunyai penis, perempuan mempunyai vagina.
·        Perempuan mempunyai payudara besar untuk menyusui
·        Laki-laki memproduksi sperma dan menghamili
·        Perempuan melahirkan, laki-laki tidak
Karakteristik Gender
·        Laki-laki mencari nafkah, perempuan mengurus rumah dan anak
·        Laki-laki harus kuat, perempuan harus lemah lembut
·        Warna biru untuk laki-laki, warna pink untuk perempuan
·        Perempuan melayani, laki-laki dilayani
·        Laki-laki bekerja, perempuan memasak, mencuci, mengepel dll.
·        Laki-laki menjadi pemimpin/ ketua, perempuan sekretaris
D. Munculnya Perbedaan Gender
Perbedaan gender  berlangsung secara turun temurun. Ada beberapa faktor kenapa gender bisa muncul dan  terus hidup / bertahan hingga saat ini. Faktor tersebut diantaranya adalah karena  dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.
E. Ketimpangan Gender (bias Gender)
Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih sering dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat  sebenarnya tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau ketidakadilan. Namun dalam perkembangannya konstruksi gender ini ternyata menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan (meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa  bias gender juga dialami oleh laki-laki). Relasi laki-laki dan perempuan yang dipayungi konstruksi sosial, nilai-nilai, dan adat istiadat secara faktual menghasilkan ketidakadilan yang terlihat pada fakta-fakta sebagai berikut :
1.  Sejak lahir adanya penghargaan yang berbeda terhadap anak yang lahir tersebut laki-laki  atau perempuan. Anak laki-laki akan dianggap sebagai penerus marga dan ada penyambutan  yang meriah.
2. Anak perempuan diinternalisasi sebagai pengabdi dan pelayan, mengalah mundur dalam  pendidikan kalau masih ada saudara laki-lakinya yang mau melanjutkan sekolah bila ada keterbatasan biaya.
3. Di dalam pembagian wilayah kerja antara suami dan istri, suami mencari nafkah di luar rumah (sektor publik), sedangkan istri melakukan pekerjaan di dalam rumah tangga (sektor domestik). Pembagian kerja ini tidak melahirkan penghargaan sosial yang sama,karena suami sebagai pihak yang memperoleh uang dan mempunyai kekuatan ekonomi, maka kerap kali istri hanya dianggap sebagai pendamping, bukan mitra sejajar yang telah mewakili suami di sektor publik.
4. Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), selalu terjadi namun jarang diekspos sebagai berita karena dianggap sebagai masalah pribadi. Konstruksi sosial yang berkembang yang cukup memprihatinkan bila perempuan yang mendapat siksaan tersebut menganggap kondisi itu sebagai sesuatu yang wajar. Ketidakadilan yang terjadi di dunia kerja, mulai dari gaji dan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Posisi mandor di pabrik-pabrik yang sangat jarang dijabat oleh perempuan. Belum lagi permasalahan pelecehan seksual, diskriminasi, marginalisasi, serta stereotipe (pelabelan negatif terhadap perempuan)  seperti bila perempuan menjadi pemimpin cenderung cerewet, judes, cengeng, emosional, dan sebagainya.
F.  Ketimpangan Gender dan Sejarah Peminggiran Perempuan
Secara historis ketimpangan gender tidak akan terlepas dari sejarah peminggiran terhadap perempuan itu sendiri karena sebagaimana para ahli antropologi katakan bahwa pada masa yang disebut sebagai masa Komunal Primitif atau masa sebelum munculnya kepemilikan pribadi dan kelas-kelas, kedudukan sosial perempuan dan lelaki adalah setara. Pada masa komunal primitif ini, masyarakat memiliki peran sebagai pemburu dan pengumpul (hunter-gatherer societies), produksi sosial ditata secara komunal dan hasilnya dibagi rata. Inilah masa bentuk pertanian belum ditemukan. Memang ada pembagian tugas yang berdasarkan umur atau jenis kelamin, tetapi semua orang melebur dalam satu kelompok sosial. Tiada basis material untuk adanya hubungan sosial yang eksploitatif.
Keadaan mulai berubah, ketika cara pertanian mulai ditemukan. Kaum perempuan lah yang sebenarnya mulai menemukan cikal bakal pertanian: mereka yang bertugas mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian melihat bahwa benih dari tanaman yang mati dapat menumbuhkan tanaman lain yang hidup. Cara atau proses ini bisa dilakukan secara sengaja. Ditemukannya teknik pertanian -yang diikuti dengan penemuan cara peternakan- segera mengubah sistem sosial dalam masyarakat. Mulailah muncul keinginan untuk memperoleh dan menyimpan hasil yang sebesar-besarnya. Keinginan itu pada mulanya baru berwujud dalam bentuk kelompok sehingga terbentuklah suku-suku, klan atau marga; tetapi lama kelamaan keinginan tersebut mewujud dalam bentuk individualistik.
Pada masa munculnya suku-suku, manusia menemukan cara untuk memperbesar hasil produksi pangan dengan cara ekstensifikasi, yakni memperbesar jumlah orang yang bekerja di bidang pertanian. Semakin banyak orang yang bekerja, maka akan semakin banyaklah lahan yang bisa dikerjakan, otomatis, semakin besarlah pula hasil yang didapat. Cara apa yang bisa dilakukan untuk memperoleh tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya? Caranya ialah, perempuan sebagai kunci reproduksi, digeser perannya sebagai "pemroduksi" anak. Inilah masa sistem sosial yang memaksa perempuan harus tinggal di rumah untuk membesarkan anak.
Lama-kelamaan, sejalan dengan semakin besar hasil yang diproduksi, pola kepemilikan secara suku bergeser menjadi kepemilikan pribadi. Peran perempuan semakin tergeser, ia sekarang menjadi "properti" milik suami dan dijerembabkan ke dalam sistem yang bernama keluarga. Sistem keluarga inilah yang semakin meminggirkan peran perempuan, di mana peran perempuan hanya sebagai penghasil keturunan, pemelihara anak dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Mulailah suatu periode di mana ketertindasan perempuan dilembagakan dalam sistem keluarga. Bahkan kata family (keluarga) asal mulanya dari bahasa Latin yakni famulus yang berarti budak dan familia, yang berarti jumlah keseluruhan budak yang dimiliki oleh seorang lelaki.
Pada masyarakat berkelas, penguasa menciptakan institusi-institusi dan alat-alat ideologi, seperti negara, militer, hukum bahkan sistem kepercayaan. Hal ini tentunya menjadi sebab logis mengapa kelas pemodal memerlukan penindasan terhadap perempuan baik dalam bentuk diskriminasi atau pemenjaraan peran, karena perempuan selain dipandang sebagai bagian dari komoditi, juga adalah golongan pekerja yang bisa dieksploitasi secara murah.

      Sources :

*Compiled by Rismayanti Priyanita

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Jadi kepingin tanya nih. Apabila dalam artikel diatas ada suatu pandangan yang menyatakan bahwa "sistem keluarga inilah yang semakin meminggirkan perempuan...", apakah kemudian kita tidak perlu lagi membangun sebuah keluarga inti atau apabila bukan demikian, bagaimana cara untuk merubah sistem keluarga yang ada saat ini masih kuat pengaruhnya dalam pembentukan kesadaran masyarakat, agar tidak menjadi legitimasi dalam penyingkiran peran perempuan?

Soalnya, saya masih melihat kuatnya pengaruh keluarga dan adanya pertimbangan-pertimbangan subjektif seseorang dalam memilih atau menentukan bangunan kehidupan keluarga yang akan diambil.

Posting Komentar