oleh Rismayanti Priyanita
Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? (Sumber: Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945)
Merespon pertanyaan Bung Karno di atas, tentulah kita akan memilih pilihan yang kedua. Dan apabila kita bertanya kepada hati nurani masing-masing, sudahkah diri kita merasa sejahtera? Mungkin sedikit pengalaman pribadi yang saya sisipkan dalam tulisan di bawah ini setidaknya memberikan jawaban jujur atas pertanyaan tersebut.
Saya adalah seorang lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan (FKIP) dari sebuah Universitas Swasta di Tasikmalaya. Mungkin saya termasuk salah seorang yang cukup beruntung, karena tidak begitu lama setelah lulus kuliah, saya bisa langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta di kabupaten Bandung Jawa Barat. Namun sayang, saya hanya mampu bertahan sekitar 6 bulan saja bekerja di perusahaan tersebut karena persoalan sistem kerja yang dinilai tidak sesuai dengan aturan yang semestinya semisal jam kerja yang melebihi 8 jam namun tidak dianggap sebagai jam lembur. Setelah itu, saya pun memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan lain dengan berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tak lama kemudian saya bekerja sebagai guru honor di sebuah sekolah swasta di kota Cimahi. Dan kali ini pun saya hanya bisa bertahan selama satu semester karena dengan kondisi yang serba mahal dan tak ada yang gratis ternyata sangat berat menjadi seorang guru honor. Selain gajinya yang sangat kecil juga tak ada kejelasan mengenai status nya. Yang jelas statusnya hanyalah seorang pekerja honorer yang bersedia gajinya dihitung seminggu dari sebulan bekerja, sisanya dianggap ridho lillahita'ala.
Well, singkat cerita saya pun menemukan pekerjaan yang lain. Namun lagi dan lagi tidak bisa bertahan lama dan ujung-ujungnya keluar dari pekerjaan dengan alasan yang hampir sama yakni kewajiban yang dibebankan tidak sebanding dengan hak yang diterima alias bekerja lebih banyak ketimbang upah yang diperoleh.
Namun, setelah merasakan beberapa kali pindah kerja, akhirnya saya menyimpulkan bahwa ternyata mencari pekerjaan yang layak di negara Indonesia ini sangat sulit dan semakin tidak jelas, karena dimana-mana hanya ada pekerjaan dengan sistem kontrak, outsourching, bahkan sistem borongan yang sama sekali tidak menawarkan, jangankan jenjang karir yang bagus, gaji yang layak saja sangat sukar untuk dicapai. Kendati demikian, akhirnya saya bisa kembali bekerja meskipun kali ini saya hanya bekerja sebagai seorang pengajar freelance di sebuah lembaga bimbingan belajar. Sementara itu, agar waktu saya di luar bekerja tidak terbuang sia-sia, saya pun memutuskan untuk menghibahkan diri di sebuah organisasi kerakyatan yang mana kemudian memberikan suatu pemahaman baru bagi saya akan arti penting dari sebuah organisasi. Dengan agenda-agenda juangnya seperti mengadvokasi kesehatan, membangun sekolah rakyat serta aksi-aksi turun ke jalan dsb membuat organisasi bukan hanya sekedar sebagai wadah untuk berdiskusi mengenai realitas kehidupan semata, melainkan dengan teori-teori yang diubah menjadi aksi-aksi yang nyata, organisasi berfungsi menjadi sebuah alat perjuangan untuk perubahan bagi mereka yang tertindas dan yang kian dijauhkan dengan sebuah kata yang namanya kemerdekaan.
Berbicara tentang makna kemerdekaan, sedikit uraian tentang pengalaman pekerjaan saya di atas, jelas sekali mencerminkan bahwa negara yang sekarang telah merdeka hampir selama 65 tahun ini pada kenyataannya belum mampu memberikan kemerdekaan bagi rakyatnya. Pengalaman saya di atas, bukan hal yang mustahil dirasakan pula oleh jutaan rakyat Indonesia lainnya bahkan banyak pula yang kondisinya lebih buruk bahkan sangat memprihatinkan. Betapa tidak, menurut data BPS, sekitar 8,59 juta* rakyat indonesia dikategorikan sebagai pengangguran dan hampir separuh lebih dari jumlah pengangguran tersebut adalah pengangguran yang terdidik. Hal ini mengindikasikan bahwa betapa suramnya masa depan rakyat Indonesia karena harus hidup dalam keidakpastian dan kemiskinan sebagai ekses dari minimnya lapangan pekerjaan.
Bagaimanapun, supaya bisa bertahan hidup, rakyat harus bekerja. Sehingga, ketika negara tidak bisa memberikan pekerjaan ataupun masa depan yang jelas bagi rakyatnya, apalah arti dari sebuah kemerdekaan? Bagi saya, kemerdekaan adalah bebas dari segala bentuk penindasan, dan kemiskinan adalah salah satunya sehingga wajib dicari jalan keluarnya karena sejatinya Tuhan telah memberikan semua kekayaan alam di bumi ini agar bisa dinikmati oleh seluruh umat manusia. Namun bagaimana dengan realitasnya? Faktanya, hanya segelintir orang lah yang bisa menikmati itu semua, sementara rakyat miskin?? Dilarang sekolah karena mahalnya pendidikan, dilarang sakit karena mahalnya biaya kesehatan bahkan mati pun dilarang karena tidak ada biaya untuk pemakaman sebagai akibat dari belum merdekanya dari belenggu kemiskinan. Dan ironisnya kemiskinan ini terjadi di negeri yang katanya tanahnya seperti bongkahan emas dari surga. Tentu saja, sebuah negeri yang kaya raya apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di belahan bumi ini.
Lantas, siapakah yang paling bertanggung jawab atas persoalan kemiskinan ini? Haruskah rakyat miskin itu sendiri yang menanggungnya karena dianggap sebagai orang-orang tak berguna dan pemalas yang sukanya hanya meminta-minta/ menuntut pemerintah saja? Jawabannya tentu saja bukan! Rakyat miskin seperti itu karena keadaanlah yang mendesaknya, sebuah keadaan yang sengaja diciptakan oleh kekuasaan yang tidak pernah berpihak kepada mereka. Sehingga bagaimanapun juga, negaralah yang wajib memberikan solusi atas kemiskinan yang sistemik tersebut! Karena negaralah yang harus dan wajib bertanggung jawab atas apa yang terjadi terhadap rakyatnya. Karena negaralah yang mempunyai kekuasaan, karena negara lah yang berhak mengatur dan mengelola semua kekayaan alam yang telah diwariskan Tuhan dan wajib mendistribusikannya kepada rakyatnya sebagaimana yang telah diamanatkan UUD 45 pasal 33 bahwasannya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Namun, dengan rezim yang tengah berkuasa sekarang ini, implementasi dari pasal 33 UUD 45 tersebut nampaknya jauh panggang dari api. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintahan yang lebih dikenal sebagai agen neoliberal ini secara terang terangan merepresentasikan keberpihakannya selama ini kepada siapa. Yang jelas bukan kepada kami rakyat miskin tapi kepada mereka yang mempunyai kekuasaan modal/ kapitalis dimana yang selalu ada dalam pikirannya adalah keuntungan, keuntungan dan keuntungan.
Adalah UU Penanaman Modal Asing No 25 Tahun 2007** sebagai contoh kongkritnya. Karena Undang-Undang itulah banyak perusahaan asing bercokol di negara ini dan bebas mengeruk kekayaan alamnya selama berpuluh-puluh tahun. Sebut saja CHEVRON, perusahaan asing milik Amerika ini sejak tahun 2000 telah menancapkan kembali salah satu cabangnya di kabupaten Garut tepatnya di wilayah kecamatan Pasirwangi. Perusahaan yang mengelola panas bumi Gunung Darajat ini pada faktanya tidak membawa manfaat sama sekali baik secara ekonomi,ekologi maupun sosial khususnya kepada warga sekitar perusahaan tersebut. Masyarakat sekitar tetap saja masih banyak yang miskin dan hidup tanpa pekerjaan bahkan harus menanggung bencana akibat keserakahan perusahaan asing tsb semisal indikasi dampak kerusakan alam dan lingkungan hidup seperti berkurangnya kualitas sumber air bersih, dan kualitas tanaman pertanian.
Pada akhirnya jangan heran apabila rakyat melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Ini terbukti pada tanggal 19 Juli kemarin, ratusan warga Garut memblokir jalan yang menuju kawasan panas bumi Gunung Darajat sebagai bentuk penolakan terhadap keberadaan CHEVRON yang telah berdiri selama sepuluh tahun di kab. Garut namun tidak memberikan kontribusi yang nyata khususnya kepada daerah sekitar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasannya keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang ada di negara ini tidaklah menguntungkan sama sekali baik bagi negara maupun rakyatnya. Oleh karena itu, di berbagai daerah, berbagai elemen rakyat beserta organisasi kerakyatan yang progresif lainnya telah seringkali mengkampanyekan dan menuntut kepada pemerintah agar segera menasionalisasi perusahaan perusahaan asing dan mengelolanya sendiri untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana telah dilakukan oleh pemerintahan Hugo Chavez di Venezuela yang tidak segan-segan mengusir perusahaan-perusahaan asing terutama Amerika yang tidak memberikan keuntungan sama sekali bagi rakyat Venezuela.
Vox Populi Vox Dey, suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagaimanapun, rakyat menginginkan kesejahteraan dan masa depan yang jelas. Menyambut HUT RI yang ke 65 ini sudah sepatutnya pemerintah membuka mata dan telinga selebar-lebarnya bahwa rakyat miskin sedang meminta haknya kembali dan mempertanyakan apa yang bisa diberikan oleh negara kepada mereka?Sudah saatnya pemerintah menghentikan kebijakan kebijakan pro neolibnya dan lakukan perubahan dengan membuat UU atau kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Semisal, nasionalisasi aset-aset yang dikuasai asing, buka lapangan pekerjaan, hapuskan sistem kerja kontrak outsourching, permudah akses pendidikan dan kesehatan gratis berkualitas agar rakyat tidak lagi menghadapi masa depan yang suram hanya karena negara tidak mampu memberikan mereka sebuah kepastian hidup.
Penulis adalah seorang rakyat pekerja dan aktifis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI)
Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? (Sumber: Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945)
Merespon pertanyaan Bung Karno di atas, tentulah kita akan memilih pilihan yang kedua. Dan apabila kita bertanya kepada hati nurani masing-masing, sudahkah diri kita merasa sejahtera? Mungkin sedikit pengalaman pribadi yang saya sisipkan dalam tulisan di bawah ini setidaknya memberikan jawaban jujur atas pertanyaan tersebut.
Saya adalah seorang lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan (FKIP) dari sebuah Universitas Swasta di Tasikmalaya. Mungkin saya termasuk salah seorang yang cukup beruntung, karena tidak begitu lama setelah lulus kuliah, saya bisa langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta di kabupaten Bandung Jawa Barat. Namun sayang, saya hanya mampu bertahan sekitar 6 bulan saja bekerja di perusahaan tersebut karena persoalan sistem kerja yang dinilai tidak sesuai dengan aturan yang semestinya semisal jam kerja yang melebihi 8 jam namun tidak dianggap sebagai jam lembur. Setelah itu, saya pun memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan lain dengan berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tak lama kemudian saya bekerja sebagai guru honor di sebuah sekolah swasta di kota Cimahi. Dan kali ini pun saya hanya bisa bertahan selama satu semester karena dengan kondisi yang serba mahal dan tak ada yang gratis ternyata sangat berat menjadi seorang guru honor. Selain gajinya yang sangat kecil juga tak ada kejelasan mengenai status nya. Yang jelas statusnya hanyalah seorang pekerja honorer yang bersedia gajinya dihitung seminggu dari sebulan bekerja, sisanya dianggap ridho lillahita'ala.
Well, singkat cerita saya pun menemukan pekerjaan yang lain. Namun lagi dan lagi tidak bisa bertahan lama dan ujung-ujungnya keluar dari pekerjaan dengan alasan yang hampir sama yakni kewajiban yang dibebankan tidak sebanding dengan hak yang diterima alias bekerja lebih banyak ketimbang upah yang diperoleh.
Namun, setelah merasakan beberapa kali pindah kerja, akhirnya saya menyimpulkan bahwa ternyata mencari pekerjaan yang layak di negara Indonesia ini sangat sulit dan semakin tidak jelas, karena dimana-mana hanya ada pekerjaan dengan sistem kontrak, outsourching, bahkan sistem borongan yang sama sekali tidak menawarkan, jangankan jenjang karir yang bagus, gaji yang layak saja sangat sukar untuk dicapai. Kendati demikian, akhirnya saya bisa kembali bekerja meskipun kali ini saya hanya bekerja sebagai seorang pengajar freelance di sebuah lembaga bimbingan belajar. Sementara itu, agar waktu saya di luar bekerja tidak terbuang sia-sia, saya pun memutuskan untuk menghibahkan diri di sebuah organisasi kerakyatan yang mana kemudian memberikan suatu pemahaman baru bagi saya akan arti penting dari sebuah organisasi. Dengan agenda-agenda juangnya seperti mengadvokasi kesehatan, membangun sekolah rakyat serta aksi-aksi turun ke jalan dsb membuat organisasi bukan hanya sekedar sebagai wadah untuk berdiskusi mengenai realitas kehidupan semata, melainkan dengan teori-teori yang diubah menjadi aksi-aksi yang nyata, organisasi berfungsi menjadi sebuah alat perjuangan untuk perubahan bagi mereka yang tertindas dan yang kian dijauhkan dengan sebuah kata yang namanya kemerdekaan.
Berbicara tentang makna kemerdekaan, sedikit uraian tentang pengalaman pekerjaan saya di atas, jelas sekali mencerminkan bahwa negara yang sekarang telah merdeka hampir selama 65 tahun ini pada kenyataannya belum mampu memberikan kemerdekaan bagi rakyatnya. Pengalaman saya di atas, bukan hal yang mustahil dirasakan pula oleh jutaan rakyat Indonesia lainnya bahkan banyak pula yang kondisinya lebih buruk bahkan sangat memprihatinkan. Betapa tidak, menurut data BPS, sekitar 8,59 juta* rakyat indonesia dikategorikan sebagai pengangguran dan hampir separuh lebih dari jumlah pengangguran tersebut adalah pengangguran yang terdidik. Hal ini mengindikasikan bahwa betapa suramnya masa depan rakyat Indonesia karena harus hidup dalam keidakpastian dan kemiskinan sebagai ekses dari minimnya lapangan pekerjaan.
Bagaimanapun, supaya bisa bertahan hidup, rakyat harus bekerja. Sehingga, ketika negara tidak bisa memberikan pekerjaan ataupun masa depan yang jelas bagi rakyatnya, apalah arti dari sebuah kemerdekaan? Bagi saya, kemerdekaan adalah bebas dari segala bentuk penindasan, dan kemiskinan adalah salah satunya sehingga wajib dicari jalan keluarnya karena sejatinya Tuhan telah memberikan semua kekayaan alam di bumi ini agar bisa dinikmati oleh seluruh umat manusia. Namun bagaimana dengan realitasnya? Faktanya, hanya segelintir orang lah yang bisa menikmati itu semua, sementara rakyat miskin?? Dilarang sekolah karena mahalnya pendidikan, dilarang sakit karena mahalnya biaya kesehatan bahkan mati pun dilarang karena tidak ada biaya untuk pemakaman sebagai akibat dari belum merdekanya dari belenggu kemiskinan. Dan ironisnya kemiskinan ini terjadi di negeri yang katanya tanahnya seperti bongkahan emas dari surga. Tentu saja, sebuah negeri yang kaya raya apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di belahan bumi ini.
Lantas, siapakah yang paling bertanggung jawab atas persoalan kemiskinan ini? Haruskah rakyat miskin itu sendiri yang menanggungnya karena dianggap sebagai orang-orang tak berguna dan pemalas yang sukanya hanya meminta-minta/ menuntut pemerintah saja? Jawabannya tentu saja bukan! Rakyat miskin seperti itu karena keadaanlah yang mendesaknya, sebuah keadaan yang sengaja diciptakan oleh kekuasaan yang tidak pernah berpihak kepada mereka. Sehingga bagaimanapun juga, negaralah yang wajib memberikan solusi atas kemiskinan yang sistemik tersebut! Karena negaralah yang harus dan wajib bertanggung jawab atas apa yang terjadi terhadap rakyatnya. Karena negaralah yang mempunyai kekuasaan, karena negara lah yang berhak mengatur dan mengelola semua kekayaan alam yang telah diwariskan Tuhan dan wajib mendistribusikannya kepada rakyatnya sebagaimana yang telah diamanatkan UUD 45 pasal 33 bahwasannya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Namun, dengan rezim yang tengah berkuasa sekarang ini, implementasi dari pasal 33 UUD 45 tersebut nampaknya jauh panggang dari api. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintahan yang lebih dikenal sebagai agen neoliberal ini secara terang terangan merepresentasikan keberpihakannya selama ini kepada siapa. Yang jelas bukan kepada kami rakyat miskin tapi kepada mereka yang mempunyai kekuasaan modal/ kapitalis dimana yang selalu ada dalam pikirannya adalah keuntungan, keuntungan dan keuntungan.
Adalah UU Penanaman Modal Asing No 25 Tahun 2007** sebagai contoh kongkritnya. Karena Undang-Undang itulah banyak perusahaan asing bercokol di negara ini dan bebas mengeruk kekayaan alamnya selama berpuluh-puluh tahun. Sebut saja CHEVRON, perusahaan asing milik Amerika ini sejak tahun 2000 telah menancapkan kembali salah satu cabangnya di kabupaten Garut tepatnya di wilayah kecamatan Pasirwangi. Perusahaan yang mengelola panas bumi Gunung Darajat ini pada faktanya tidak membawa manfaat sama sekali baik secara ekonomi,ekologi maupun sosial khususnya kepada warga sekitar perusahaan tersebut. Masyarakat sekitar tetap saja masih banyak yang miskin dan hidup tanpa pekerjaan bahkan harus menanggung bencana akibat keserakahan perusahaan asing tsb semisal indikasi dampak kerusakan alam dan lingkungan hidup seperti berkurangnya kualitas sumber air bersih, dan kualitas tanaman pertanian.
Pada akhirnya jangan heran apabila rakyat melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Ini terbukti pada tanggal 19 Juli kemarin, ratusan warga Garut memblokir jalan yang menuju kawasan panas bumi Gunung Darajat sebagai bentuk penolakan terhadap keberadaan CHEVRON yang telah berdiri selama sepuluh tahun di kab. Garut namun tidak memberikan kontribusi yang nyata khususnya kepada daerah sekitar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasannya keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang ada di negara ini tidaklah menguntungkan sama sekali baik bagi negara maupun rakyatnya. Oleh karena itu, di berbagai daerah, berbagai elemen rakyat beserta organisasi kerakyatan yang progresif lainnya telah seringkali mengkampanyekan dan menuntut kepada pemerintah agar segera menasionalisasi perusahaan perusahaan asing dan mengelolanya sendiri untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana telah dilakukan oleh pemerintahan Hugo Chavez di Venezuela yang tidak segan-segan mengusir perusahaan-perusahaan asing terutama Amerika yang tidak memberikan keuntungan sama sekali bagi rakyat Venezuela.
Vox Populi Vox Dey, suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagaimanapun, rakyat menginginkan kesejahteraan dan masa depan yang jelas. Menyambut HUT RI yang ke 65 ini sudah sepatutnya pemerintah membuka mata dan telinga selebar-lebarnya bahwa rakyat miskin sedang meminta haknya kembali dan mempertanyakan apa yang bisa diberikan oleh negara kepada mereka?Sudah saatnya pemerintah menghentikan kebijakan kebijakan pro neolibnya dan lakukan perubahan dengan membuat UU atau kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Semisal, nasionalisasi aset-aset yang dikuasai asing, buka lapangan pekerjaan, hapuskan sistem kerja kontrak outsourching, permudah akses pendidikan dan kesehatan gratis berkualitas agar rakyat tidak lagi menghadapi masa depan yang suram hanya karena negara tidak mampu memberikan mereka sebuah kepastian hidup.
Penulis adalah seorang rakyat pekerja dan aktifis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI)
0 komentar:
Posting Komentar