Selasa, 15 Januari 2013

Pendidikan Berkualitas Tanpa Label

Pada 8 Januari 2013 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menghapuskan status RSBI/ SBI sebagai kriteria sekolah yang berkualitas, khusus untuk sekolah negeri di seluruh Indonesia. Setidaknya ada dua pertimbangan kenapa pada akhirnya MK memutuskan untuk mengapuskan label tersebut. Pertama, pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang dijadikan payung hukum dibentuknya sekolah berlabel RSBI/ SBI adalah inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 45 karena telah menciptakan kastanisasi/ diskriminasi pendidikan. Kedua, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mata pelajaran tertentu dinilai telah mengkhianati semangat sumpah pemuda 1928 yang menyatakan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia, juga bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. (Sumber : Kompas.com, Selasa, 8 Januari 2013 )

Keputusan MK ini pun menuai pro dan kontra. Bagi kalangan aktivis pendidikan atau aktivis yang peduli dengan dunia pendidikan tentunya sangat menyambut baik keputusan MK ini. Namun, ada sebagian kalangan yang merasa kecewa dengan keputusan ini. Seperti Waliota Surabaya Tri Rismaharini misalnya. Secara terang-terangan dirinya telah menyatakan akan terus mempertahankan label RSBI/SBI karena menurutnya label tersebut sudah menjadi ciri khas kota yang dikenal sebagai kota pahlawan ini.

Baiklah, pada tulisan ini, penulis tidak akan larut dalam pro kontra keputusan MK ini karena pada dasarnya saya yakin siapapun tanpa memandang kaya ataupun miskin pasti menginginkan pendidikan yang berkualitas demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang menjadi soal, perlukah pemberian label agar pendidikan yang berkualitas ini dapat terwujud? Hal ini perlu kita kaji mengingat baru-baru ini di media massa muncul isu/ wacana mengenai penyelenggaraan. Sekolah Kategori Mandiri (SKM) yang dinilai sebagai upaya pemerintah untuk mengakali putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengahapusan label RSBI/ SBI.

Label dalam Pendidikan

Label biasanya identik dengan merk. Menurut definisinya, label atau merk adalah nama dan atau simbol yang biasa digunakan untuk menjual produk dan jasa (Miller & Muir 2004). Salah satu fungsi labelpun adalah sarana periklanan bagi produsen.

Berbicara pendidikan, menurut saya, pendidikan bukanlah barang dagangan (komoditas) seperti halnya sepatu, baju, jam tangan yang mempunyai bermacam-macam label/ merk yang digunakan sebagai identitas untuk membedakan mana barang yang berkualitas bagus dan mana barang yang berkualitas buruk.


Dengan demikian, pemberian label dalam dunia pendidikan tidaklah relevan karena sangat rentan untuk dikomersilkan. Pemberian label RSBI/ SBI setidaknya menjadi bukti nyata bahwa pendidikan telah dijadikan layaknya barang dagangan dimana prinsip ada uang ada barang menjadi syarat. Lagipula, label atau merkpun belum tentu menjamin kualitas. Label RSBI/SBI yang memberikan kesan sebagai sekolah yang lebih unggul dari sekolah yang biasa pada faktanya justru belum terbukti kualitasnya. Sebenarnya ada benarnya juga pepatah William Shakespeare “Apalah artinya sebuah nama? Yang kita sebut mawar dengan nama apapun akan tercium sama wanginya.” Jadi, menurut hemat saya, sebuah pendidikan mau diberikan label atau merk yang sebagus apapun sepanjang syarat unuk menuju pendidikan yang berkualitasnya itu sendiri belum dipenuhi, maka, itu sama saja dengan pendidikan yang menipu.

Mewujudkan Pendidikan Berkualitas

Mewujudkan pendidikan yang berkualitas memang tidaklah mudah. Namun berbagai upaya tetap harus dilakukan khususnya oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan. Menurut penulis, sedikitnya ada 3 hal (syarat) yang wajib dipenuhi oleh pemerintah apabila pemerintah memang benar-benar mempunyai tekad untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas.

Pertama, pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan yang non diskriminatif . Pasal 31 ayat 1 UUD 45 telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan. Artinya, disini pemerintah harus sadar betul bahwa pendidikan sebagai hak dasar manusia (Hak Azasi Manusia) adalah sudah menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian, pemerintah bertanggung jawab atas segala pembiayaan pendidikan termasuk didalamnya gaji pendidik (guru), penyediaan sarana prasarana yang lengkap dan lain-lain yang tentunya berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Ini dilakukan tidak hanya sebatas sampai SMP atau SMA tetapi sampai perguruan tinggipun sudah sepatutnya diberikan subsidi oleh pemerintah. Oleh karena itu, masalah keterbatasan anggaran yang selama ini selalu digembar gemborkan jangan lagi dijadikan alasan oleh pemerintah demi memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Syarat yang kedua untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas adalah pemerintah harus mempunyai komitmen untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas guru. Setidaknya kita patut belajar dari negara Finlandia dimana kunci kesuksesan sistem pendidikan di sana terletak pada kualitas guru. Pepatahpun mengatakan “Tak mungkin mengubah peserta didik tanpa memperbaiki mutu pendidik.”. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang kontinyu, terukur dan terarah agar menciptakan guru yang ahli, akuntabel dan mempunyai komitmen kuat terhadap peserta didik. Pemerintah juga perlu membenahi pola rekruitmen guru karena sudah rahasia umum bahwa, pola rekruitmen guru yang telah berjalan selama ini masih berbau KKN. Perekrutan guru selama ini bukannya kualitas yang diprioritaskan melainkan uang dan kedekatanlah yang berbicara lantang. Tak kalah pentingnya, upaya untuk meningkatkan kualitas guru juga dapat dilakukan dengan memperhatikan kesejahteraan guru. Sampai hari ini, masih banyak dijumpai guru khususnya di daerah yang menerima honor 300 ribu bahkan 150 ribu perbulan, sangat jauh dibawah standar KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Untuk itu, tuntutan penetapan gaji guru sesuai KHL yang sempat berkembang di media massa harus segera direspon positif oleh pemerintah.

Kembali ke upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas, syarat ketiga yang harus dipenuhi oleh pemerintah adalah penerapan kurikulum pendidikan kritis yang berbasiskan budaya lokal. Kurikulum pendidikan kritis berbasiskan budaya lokal ini berorientasi pada bagaimana upaya mendorong peserta didik untuk berpikir kritis dan mampu menganalisa permasalahan sosial minimal yang ada atau terjadi di sekitar lingkungan (daerah) terdekatnya.

Menurut Susana Srini dengan mengutip pendapat Prof. Dr. Yus Rusyana (Guru Besar UPI dan konsultan senior “Resources Teacher Empowerment) mengatakan bahwa kurikulum itu hidup. Ia merupakan kehidupan itu sendiri. Oleh karena potensi alam dan budaya di setiap daerah di Indonesia berbeda-beda, maka dengan diterapkannya kurikulum pendidikan kritis berbasiskan budaya lokal, setidaknya peserta didik mampu mengenal potensi diri dan daerahnya beserta persoalannya. Seperti yang diungkapkan oleh Moh. Yamin dalam bukunya yang berjudul “Sekolah yang Membebaskan” Sebuah penyelenggaraan pendidikan disebut baik, positif dan memberikan konstribusi penting sekaligus signifikan ketika ia mampu menjawab kebutuhan serta persoalan masyarakat setempat.”

Setidaknya itulah syarat minimal yang mau tidak mau (wajib) pemerintah penuhi demi terwujudnya pendidikan yang berkualitas. Ketiga syarat diatas dapat diimplementasikan di sekolah mana saja tanpa harus melihat label sekolah A,B atau C asalkan ada political will dari pemerintah selaku pemegang kekuasaan. Dengan demikian, peserta didik dan orang tua tidak lagi terjebak dengan label-label bertaraf internasional, sekolah unggulan, atau apapunlah namanya karena dimanapun mereka menyekolahkan anak-anaknya, tetap akan mendapat jaminan layanan dan fasilitas yang sama-sama berkualitas.


*Tulisan ini dimuat di Surat Kabar Priangan

0 komentar:

Posting Komentar